Amir adalah seorang eks perantauan, yang lumayan sudah malang melintang di Tangerang, Jakarta, Depok, Bekasi, jadi lumayan cukup kenyang memetik pengalaman pedih perih susah senangnya merantau, tinggal dikota metropolitan yang gencar di cap kejam ataupun keras ada benarnya tapi ada juga salahnya, faktanya dibalik kerasnya ibukota, selama Amir tinggal di kontrakan sampai pernah mencicipi jadi penghuni sebuah Perumahan yang cukup elit, kehidupan bertetangga, kegiatan kemasyrakatan di lingkup kontrakan maupun di perumahan malah berkesan guyup, strata sosial tidak jadi penghalang untuk kita berbaur, kalau ada kegiatan kerja bakti RT hampir seluruh insan warga nimbrung dan andil dalam tugas kerjabakti, kala rehat kami duduk sama rendah berdiri sama tinggi, walau diantara kami berbeda-beda latar belakang dan strata jabatan dari latar pekerjaan masing-masing, ada yang jadi manager di Perusahaan farmasi, ada yang kalangan TNI dan polri, ada yang jadi staf atau karyawan dari perusahaan swasta besar ataupun BUMN, ada yang berwiraswasta sukses yang mempunyai CV atau badan usaha, kalau Amir nggak usah ditanya ha..ha diamah buruh pabrik biasa, kami biasa ngobrol dan bersendagurau bersama, senyum-senyum tertawa lepas, kalau ada kegatan keagamaan, maupun olahraga acara tersebut didukung bareng-bareng, ada warga yang sakit bergantian kita jenguk, jadi anggapan ibukota kejam bisa terpatahkan dengan adanya fakta kebersaman dari sesama penghuni perantauan dari berbagai latar belakang suku berbaur dengan pribumi.
Situasi itu terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu, tapi kini Amir sudah tinggalkan nuansa itu, karena kini Amir tinggal menetap di sebuah kampung, ya dia telah tanggalkan baju seorang buruh dan berganti menjadi seorang wiraswasta di Desa, memang bukan Desa kelahiran ia dulu, tapi disebuah Desa lain Kabupaten, bisa dibilang sama-sama merantau tapi versi jarak dekat lha wong cuma tetangga Kabupaten, dan di Kabupaten ini juga dulunya adalah asal dari kakek nenek atau buyut Amir, bahkan saudara-saudara Amir sudah terlebih dulu menetap di tetangga Desa dari kampung yang Amir kini tinggali.
Angan-angan Amir saat masa transisi menjelang kepindahannya dari kota ke Desa, yang bergelayut dalam pikirannya hidup di Desa yang katanya gotong royongnya sangat tinggi, guyup dan ramah, saling menghormati dan tenggang rasa, ya hal hal itu adakalanya ia rasakan tapi adakalanya nuansa itu sudah terasa mulai luntur, yang katanya dikota mau apa-apa mesti pakai uang rupanya di Desapun uang juga jadi magnet bagi orang untuk mau bergerak atau tidak, istilah wani piro, kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah, yang pintar memakan yang belum tahu, yang kuat melahap yang lemah, gila strata sosial, istilah-istilah itu konon lebih populer duluan di kehidupan kota, tapi apakah fenomena-fenomena ini juga sudah merangsek masuk ke kehidupan Desa, hmmmm.m nampaknya demikianlah adanya.
Belum lagi kultur aneh, unik atau miris , diluar dugaan bisa dirasakan Amir di Kampung ini, seperti hal-hal sebagai berikut :
Fenomena tingkat perceraian yang cukup atau bisa dibilang sangat tinggi, bagaimana tidak, usia pernikahan dini kerap terjadi, calon pengantin perempuan atau laki-lakinya baru belasan tahun, beberapa diantaranya belum masuk syarat usia pernikahan yang ditentukan Pemerintah, tapi nyatanya tetap saja bisa dilangsungkan pernikahan ( he..he..entah pakai trik apa uuu...uft ), anak baru lulus SMP saja pada nikah, apalagi tingkat pendidikan di kampung ini masih cukup rendah mayoritas cuma lulus SD, SMP pun kadang ikut persamaan atau kejar paket, lucu anak lulus SMP sudah pada nggendong anak, banyak yang nikah sudah dalam kondisi hamil, ketegasan orangtua ( warga ) menjaga putra putrinya dari potensi perbuatan zinah diluar nikah remnya blong, bagaimana tidak anak pacaran sang laki atau bahkan perempuannya ada saja yang bebas sampai larut malam bahkan sampai nginap, apa ini karena ada prinsip dari Orang tua " asal anak senang, Ya Allah hindarkan daerah kami dari dicabutnya keberkahan dariMu atas kehidupan kami.
Padahal sebagaimana sedikit Amir pahami pernikahan adalah barang sakral, diperlukan persiapan yang matang bagi pihak-pihak yang mau menikah baik dilihat dari sisi kesiapan mental / spiritual, ekonomi, wawasan pola pikir dewasa, ironisnya pondasi-pondasi ini kadang diabaikan, dari sisi umur masih belia ( seakan dunia remaja terampas ), dari sisi pekerjaan kadang laki-lakinya belum punya pekerjaan yang pasti, setelah menikah apa apanya masih sangat bergantung orang tua, dari bangun rumah, hajatan anak, keperluan-keperluan rumah tangga anak, jadilah apa yang dimiliki Orang tua semuanya kalau perlu dijual termasuk tentu diantaranya adalah tanah yang dimiliki, ketika orang tuanya sudah renta, jadilah hartanya sudah terkuras untuk anak-anaknya, ketika tak ada harta lagi yang bisa diperas darinya, teramat miris orangtua renta tersebut apalagi yang sudah didera sakit-sakitan ditempatkanlah dia dibagian belakang rumah, dibuatkan gubug kecil tanpa diberikan fasilitas yang memadai.
Karena belum dewasa mentalnya masih labil ada konflik rumah tangga mudah terguncang, jadilah tingkat perceraian bahkan bisa jadi tingkat perselingkuhanpun ikut terdongkrak tinggi, yang Amir tak habis pikir adalah fenomena dimana seakan-akan ada kesan calon laki-laki pengantin harus tinggal di kampung ini, dekat dengan rumah orang mempelai perempuan, sehingga jika katakanlah laki-lakinya menolak, tak ayal kerap terjadi pihak istri dengan campur tangan orang tuanya mengambil sikap, kalau tidak mau tinggal disini mending rumah tangganya bubar, adalagi fenomena yang menurut Amir nyleneh adalah adanya beberapa kejadian jika ada sebuah rumah tangga yang salah satunya meninggal misal si A laki-laki menikah bertahun-tahun dengan perempuan di kampung ini, sudah menempati rumah tersebut sedemikian lama kebetulan rumah tersebut tanahnya berasal dari warisan keluarga istrinya, begitu istrinya meninggal dunia,dan secara kebetulan tidak dikaruniai anak, seakan-akan sang suami tidak berhak tinggal disitu lagi, harus enyah tak peduli keadaanya seperti apa saat itu, paling banter, ia mendapatkan uang tak seberapa bisa jadi hanya sebesar apa yang telah ia keluarkan saat dulu membangun rumah, sedang rumah tersebut jadi hak waris saudara-saudara istrinya, bahkan Amir dengar sendiri dari warga, jika ada seorang suami yang tinggal di rumah waris pihak istri, kebetulan sang suami tersebut punya kebun yang berasal dari warisan orang tua suami tersebut maka penghasilan dari kebun tersebut sebagian di pisahkan, katanya buat persiapan kelak kalau ia harus hengkang dari rumah tersebut, hh..mmmm .m aneh bukan?
Jika sebuah Desa ingin bertumbuh dan berkemajuan, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya keterbukaan terhadap investor, value-value positif mesti diadopsi, jangan sampai daerah tersebut jadi suatu daerah yang tidak ramah dan kurang kondusif untuk para investor ataupun pendatang yang kemudian bisa jadi menetap disana, Amir pun mendapatkan informasi yang sesungguhnya sangatlah disayangkan misal ada kejadian, ada orang luar kampung yang tinggalnya jauh dari kampung tersebut memiliki kebun, kemudian kebun tersebut dititipkan untuk dirawat, misal ditanami bibit pohon albasiah dengan tinggi 80cm, ech ketika tanaman tersebut sudah tinggi 11/2-2 mtr pohon tersebut dicabuti orang yang dipercaya untuk memelihara kebun untuk kemudian dijual lagi, ketika ditanyakan oleh pemilik, orang tersebut berdalih pohon-pohonnya pada raraben ( mati kena ulat ), support dari penduduk kampung terhadap pengusaha-pengusaha lokal mesti direalisasikan misal dengan menjadi pelanggan-pelanggannya, tidak malah mencari atau membeli produk/jasa dari luar daerah, seperti apa yang digagas dan dikampanyekan salah satu teman Amir yang mengusung gerakan " TUKU TANGGANE DEWEK "dimana kegiatan tersebut sudah terbukti mampu meningkatkan kualitas dan taraf hidup penduduk setempat, denyut roda perekonomian berputar, terciptanya goton groyong untuk mengoptimalkan produk ataupun potensi lokal , sehingga tumbuh bersama, dimana keuntungannya pasti juga dirasakan oleh penduduk tersebut, seiring dengan itu hasrat untuk terjun dalam dunia usaha semakin tumbuh dan merebak dimana produk-produknya tidak hanya dijual untuk kalangan sendiri tetapi mampu tembus pangsa pasar luar daerah.
Amir juga pernah dapat curhatan, ada seorang pedagang yang bukan dari penduduk asli, bagaimana dia diperlakukan hal yang bisa dibilang picik, ada ppenduduk asli yang menitipkan uang pembelian barang dimana barang tersebut masih cukup lama dipakainya, eh..h esok harinya uang yang dititipkan ditarik kembali dengan dibumbui kata-kata: " aku nggak jadi titip uang, soalnya kamu bukan orang sini???!, mendengar alasan orang tersebut sontak Amir kaget, Ya Allah Pak kami tinggal disini niatnya baik, ikhtiar berdagang bukan jadi perampok, pencuri, pengedar narkoba atau perjudian atau kegiatan apapun yang haram ataupun merusak tatanan masyrakat, kalau bapak bilang kami bukan orang sini, kakek ataupun nenek kami berasal dari Banyumas ada yang dari Sokaraja, ada yang dari Karangtengah Baturraden ada yang dari Pasir, Bangsa kita sudah merdeka Pak, setiap Warganegara berhak mencari penghidupan dan pekerjaan layak ataupun melaui kebebasan berusaha ( berwiraswasta )
Sebagai pedagang dalam tiap momen Lebaran juga rutin membagikan bingkisan sembako kepada tetangga-tetangga sekitar tentu yang membagikan adalah karyawan rumah, anehnya jika esok harinya Amir ketemu dengan orang-orang yang dibagi sembako, bisa dibilang tidak ada satu patah katapun ucapan terima kasih, bukan Amir berharap imbalan ucapan terima kasih tapi sebagai Bangsa yang katanya berbudaya timur mestinya ketika ada orang yang memberikan sesuatu walaupun yang membagikan bukan langsung si empunya ketika orang yang diberi itu suatu saat ketemu dengan si empunya ya seyogyanya ucapkanlah terimakasih sebagai bentuk unggah ungguh cermin sikap arif budaya santun, tapi kejadian yang sama terus berulang menimpa Amir sampai Amir berpikir apa karena apa yang diberikannya tidak sebesar harapan mereka entahlah, tidak berhenti sampai disitu, pernah suatu ketika ada peristiwa darurat terjadi yakni tetangga Amir dalam kondisi kritis, suami dari istri yang sakit minta tolong untuk segera diantarkan ke Rumah sakit, tanpa pikir panjang Amir pun mempersiapkan mobil untuk segera meluncur ke Rumah sakit, bersyukur cepat sampai dan segera ditangani pihak RS, situasi darurat pun berubah kondusif tau lebih baik, ajaibnya esok harinya ketika istrinya sudah pulang dari Rumah sakit, selain tidak ada satu katapun ucapan terimakasih, si suaminya lewat didepan toko material Amir sambil lewat bawa semen yang notabene beli bukan dari toko Amir, padahal harga semen dengan merk yang sama juga dijual \amir harganya pun kompetitif bahkan untuk semen bisa dibilang murah dibanding kompetitor lain, tapi entahlah ......
Sebagai bagian insan masyarakat biasa Amir pun tidak berlaku inklusif, interaksi dengan tetangga jamak dilakukan, kegiatan kerja baktipun rutin ikut, termasuk kegiatan ronda, suatu ketika Amirpun ikut nimbrung di poskamling, sebatang dua batang rokok tuntas disedot bibir hitam Amir sambil berkelakar cerita ngalor ngidul, dari soal Nabi-nabi sampai soal-soal pengalaman masa lalu terkait kehidupan kampung tempoe doeloe, lagi asyik ngobrol kita kedatangan orang diluar team ronda, tiba-tiba dia nyeletuk dengan jelas dan tandas bilang seperti ini " Ach Amir mah ikut nimbrung sama kita-kita karena ada maunya, yakibi cari biting ( point ) agar kita pada belanja ke tokonya " seketika Amir kaget sampai-sampai kacang yang sudah siap dilahap sontak terpental, dalam batin Amir cuma bergumah lirih Ya Allah beegitu suudzonnya beliau terhadap saya, biarlah Allah yang membalas dan semoga beliau sadar atas sikap salahnya "
Bersambung ....... sepertinya masih ada fenomena2 lain yag tak kalah menarik, cekidot lanjut kita bobo dulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar