Kata sungkem berasal dari bahasa jawa yang kalau diartikan dalam bahasa indonesia bisa bermakna: tanda bakti atau hormat.
Tradisi sungkem sebenarnya sudah berlaku lama dan lazim dilakukan sejak zaman dahulu, yang paling nampak adalah pola hubungan antara prajurit pada rajanya, rakyat jelata pada tuan tanahnya, budak jajahan pada meneernya, sungkem jenis ini, faktor kekuasaan sangatlah dominan, si penguasa punya hak mutlak untuk dihormati.
Aturan yang berlaku secara universal, sungkem biasanya berlaku pada seorang anak pada orang tuanya atau orang yang lebih muda terhadap yang lebih tua.
Sungkem nampaknya sudah menjadi bagian dari tradisi yang melekat, khususnya pada masyarakat Jawa, terlebih jika hari lebaran tiba, bahkan tujuan mudik bagi perantau tak lain dan tak bukan adalah agar kita bisa melakukan sungkeman pada orang tua, saat itulah terjalin komunikasi batin si anak meminta restu dan meminta maaf pada orang tuanya sebaliknya orang tua memberi/meminta maaf serta memberikan nasihat.
dalam lingkup ini tradisi sungkeman masih mutlak diperlukan, agar pola hubungan yang didasarkan etika dan kasih sayang terus terjalin, sehingga menciptakan harmoni kehidupan yang sejuk bagi kedua belah pihak.
Tapi bagaimana bila tradisi sungkemisme juga berlaku terhadap upaya penegakan hukum, dunia politik serta kekuasaan? nach ini dia .....efek negatif dari kebiasaan sungkemisme ( kalo boleh diartikan sikap rasa hormat berlebihan ) bisa membuat mandulnya peran hukum sebagai panglima, lihat saja kehidupan di negeri ini, babak akhir terhadap kasus-kasus yang menggemparkan publik hanya berakhir bias dan tak berujung, padahal harapan rakyat sangatlah besar untuk mendapatkan kejelasan dan keadilan karena itu adalah bagian hak kami dalam berNegara.
Sungkemisme dalam definisi ini bisa menimbulkan sikap wuh pakewuh ( sungkan ) antara pihak-pihak yang terkait, lebih berbahaya lagi jika sisi negatif sungkemisme sudah menjalar dan merasuk pada pola hubungan antar lembaga-lembaga negara baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Contoh yang paling menonjol adalah kasus-kasus tindak pidana korupsi, sering kita lihat jika ada dugaan korupsi yang mengarah pada seseorang dimana bila orang tersebut berasal dari lingkaran ring satu ( katakanlah dekat dengan petinggi partai, pejabat pemerintah ) maka berbagai upaya dilakukan oleh lingkaran dekatnya untuk segera mengaburkan atau jika perlu memutarbalikan fakta, celakanya lagi jika pihak penegak hukum seperti KPK, Kepolisian ataupun kejaksaan ikut terkesan sungkan menangani kasusnya, sehingga setidaknya penanganannya menjadi lambat, yach sampai ada yang keburu kabur pula, lucunya lagi jika ada orang lain yang kebetulan satu partai dengan nya urun bicara di media, acapkali dianggap lancang, he..he..he yang lain boleh bicara setelah ada lampu hijau atau pernyataan dari ketua umumya atau dewan pembinanya dulu.
Lebih fatal lagi jika sungkemisme diracik dengan politik balas budi, wow efeknya lebih dahsyat dan merusak.
Harus diakui dunia kekuasaan dan perpolitikan di negeri ini memang suka ndak suka menganut "Height Cost", bukan rahasia umum, dengan uang kekuasaan kekuasaan bisa dibeli, tak heran calon legislatif maupun eksekutif dalam pemilu maupun Pilkada didominasi orang-orang berkantung tebal, tipis bedanya antara Penguasa dan Pengusaha, bahasa gaul bilang 11-12.
Akibatnya setelah terpilih apa yang dipikirkan oleh si pemenang:
- Mengembalikan uang sponsor.
- Memulihkan modal.
- Mencari rekanan ataupun berbisnis dengan mengandalkan posisinya.
- mempersiapkan diri, keluarga atau partainya untuk pemilihan berikutnya.
- Kalau sudah begini kapan berkiprah untuk rakyatnya?
Rasa sungkan yang berlebihan jelas menjadi penghambat dalam upaya penegakan hukum, peberantasan korupsi, dan mewujudkan pemerintahan dan penegakan hukum yang bersih.
Miris bila ditengah masyarakat, kita mendengar katanya kalau masuk ke Institusi A harus setidaknya mempersiapkan ..... Jt rupiah, instansi B .....Jt rupiah, giliran lewat jalur kolusi ( ada kenalan yang berpengaruh ) dijamin lebih lancar masuknya, pantesan saja pelayanan publik yang membutuhkan tenaga mereka, kita mesti merogoh kocek yang besar, semoga kondisi ini lama-lama terkikis habis ( berharap sangad broe ).
Dalam dunia kerja, sungkemisme ataupun sungkanisme, juga bisa merusak sistem kerja yang sehat, pokoknya apapun yang datangnya dari atas pasti benar dan harus dijalankan bawahan, akibatnya sang bawahan punya hak yang sangat tipis untuk mengkritisi dan memberikan koreksi, kalau perlu demi memenuhi perintah pimpinan, SOP pun diterabas.
Dalam hubungan antara Negara, sikap sungkemisme kerap / bisa melunturkan kewibawaan sebuah bangsa yang berdaulat, misal soal pembelian pesawat MA-60 yang lagi santer, itu juga sedikit banyaknya ya akibat rasa sungkan terhadap China sebagai produsen pesawat jenis ini, mentang-mentang Negara ini sudah berinvestasi di bidang lain, begitu kita ditawarin pesawat nilai tawar kita untuk menolak sangat rendah, ketakutan kalau investasinya sampai dicabut, padahal jelas-jelas Pak Habibie sampai berkomentar, "jika dibandingkan CN-235 sama MA-60 tapi kita koq malah pilih beli MA-60 itu adalah pilihan yang konyol"
Belum lagi soal, kekayaan alam kita yang berlimpah ruah dimana sebagian besar dikelola pihak asing, hasilnyapun sebagian besar ya lari ke negara asing, kita kebagian pajaknya saja sudah merasa senang banget, mau naikin prosentase kepemilikan saja mesti hati-hati banget, apalagi jika yang punya perusahaan adalah Negara adikuasa, ibaratnya dia berdehem sedikit saja sudah bikin gemeteran buat Negara yang mungkin di vonis banyak berhutang budi padanya
Sudah saatnya sungkemisme dikembalikan pada porsi dan arti sebenarnya ..........
Sebagai bagian dari komponen bangsa kami masih berpikir positif terhadap upaya pemerintah melalui pembuatan UU sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pendirian Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Setidaknya Pemerintah sedang dan akan memperbaiki sistem pengelolaan pertambangan mineral Indonesia yang melimpah, ke depan kita harus punya posisi yang kuat dalam menentukan kontrak-kontrak baru, berani mengelola sendiri melalui tenaga-tenaga ahli yang kita miliki, bahkan jika diperlukan kita tidak perlu lagi memperpanjang kontrak perusahaan asing yang sudah berakhir, kita harus berpikir sudah cukup lama dan sedemikian besar mereka menyedot kekayaan alam yang mestinya menjadi hak rakyat ini bahkan ada yang kontraknya sudah dimulai dari tahun 70an, jangan-jangan saat habis kontrak nanti, kita tinggal kebagian sedemikian kecil sisa pengolahan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar