Putus pacar atau nggak PD mau kawin gara-gara status kerjanya masih kontrak, terlebih di era sekarang status pekerjaan, jadi salah satu patokan perlu dilanjutkan atau tidaknya sebuah hubungan, sepanjang sistem kontrak berkepanjangan dan outsourching masih ditolelir dan dianggap legal, penyakit takut kawin jadi momok bagi para buruh lajang, bayang-bayang di tolak calon mertua, apalagi kalau ditanya calon mertua begini" kerjanya dimana le, sudah lama kerjanya?, lalu statusnya gimana?, paling sebisanya di jawab" anu Pak kerjanya di Jakarta, kerjanya sich sudah lama, ta..ta.ta .pi statusnya masih kontrak ( mau bohong ga bakat ), coba gimana ga sedih kalau calon mertua spontan mengucapkan; " Oh gitu tho koq betah banget di kontrak (dlm batin si buruh, bukan masalah betah ga betah, tapi saking ga kuasanya), " gini yo le, Bapak ga mau anak Bapak berhubungan dengan calon laki yang status kerja nya ga jelas, jadi mulai detik ini tolong jangan ganggu lagi putri bapak yach" jawab si buruh OK lah kalau begitu ( sambil menggerutu dalam hati,uch Bapak nggak up date kondisi ketenagakerjaan kita saat ini sich nasib....nasib ).
Ada pula cerita pasangan buruh yang dihadapkan polemik pasca dikaruniai anak, khususnya mengenai siapa nanti yang bakal ngasuh itu bocah, mau salah satu keluar kerja buat fokus ngasuh, takut kalau kondisi keuangan semakin guncang, mau ga keluar kerja khawatir jika anaknya dititipkan orang, pola pengasuhannya kurang benar, kalaupun tetap tinggal bersama orang tuanya dan dititipkan pada orang lain di perantauan, saat di tinggal kerja pasti ada saja rasa khawatir, jangan-jangan anaknya kurang diperlakukan semestinya sama yang momong, jadilah konsentrasi kerja pun sedikit terganggu, ujung-ujungnya anak dititipkan sama orang tua dikampung, sampai ada celotehan sesama buruh begini " yach loe enak bikinnya doang, giliran sudah jadi, dititipkan sama neneknya", bahkan ada cerita lucu, saat orang tuannya pulang kampung mau nengokin anaknya, giliran ketemu, anaknya ngga kenal bapak-ibunya bisa-bisa manggil ayahnya jadi OM, sebaliknya menyebut neneknya, dengan panggil MAMA atau IBU saking terbiasanya diasuh dari kecil sama neneknya, kalaupun memilih mencari orang yang momong, masalah tidak berhenti sampai disini, untuk sekedar mencari orang yang momong itu juga nggak gampang, banyak kejadian yang menimpa kawan buruh sampai gonta-ganti yang momong karena nggak cocoklah sampai dibelain wara-wiri cuti buat ngurus masalah ini, ditinggal yang momong tanpa pamit, sampai kejadian yang paling dramatis adanya penculikan anak yang dilakukan oleh si pengasuhnya sendiri.
Polemik tanggal tua yang kadang datang bak vampire yang mendebarkan, bertunas dari sini tumbuh cerita semacam:
Peredaran uang receh semakin meningkat, untuk keperluan menyambung hidup rela bergerilya mencari barangkali ada uang recehan yang tersisa atau terselip, setidaknya lumayan buat beli kerupuk kah, mie kah atau apapun buat ganjal perut.
Kalau saldo di ATM, sudah tidak cukup untuk penarikan saldo minimum, sibuklah kita mencari teman yang masih ada sisa saldonya supaya bisa di transfer ke rekening kita, setelah saldonya cukup di tariklah uang sebesar batas minimum penarikan habis itu kita balikin dech uang transferan dari teman tadi, mungkin sekitar delapan tahun ke belakang masih tersedia ATM dengan penarikan uang kelipatan 10 ribu rupiah, nach kalau pas tanggal tua dijamin ATM ini pasti diburu sama para buruh yang duitnya sudah kecekik tanggal tua.
lebih apes lagi, kala dengan PD nya ikut ngantri panjang, sambil pasang muka ceria di ATM, pada tanggal-tanggal biasanya uang gaji sudah masuk, giliran kartu di gesek si mesin pintar mengeluarkan peringatan " Maaf saldo anda tidak cukup untuk melakukan transaksi ini "deg lemes dech dengkul, biar nggak malu sama pengantri yang lain kita bergaya pura-pura sibuk ambil duit dari lubang ATM ditambah lagi saat ke parkiran sudah ditodong tukang parkir yang minta jatah.
Para perantau laki-laki banyak yang jadi pintar masak, soalnya sudah terbukti dengan masak sendiri relatif lebih ekonomis, jadi pemandangan yang lumrah kalau buruh lelaki ikut keroyokan sama Ibu-ibu nimbrung belanja di tukang sayur, sambil mengibarkan bendera bertuliskan " DEMI PERUT PERSETAN DENGAN GENGSI".
Ngontrak / ngekos kamar sepetak atau di rumah, ditempati rame-rame, tidur empet-empetan ama teman berebut tempat sama perabot yang tumplek semuanya di ruangan, sampai-sampai kalau ada pacar mau main ke kontrakan, teman yang lain nyingkir entah buat memberikan keleluasaan? atau emang karena faktor sumpek, entahlah, lebih parah lagi masih banyak para buruh yang sudah berumahtangga dan mempunyai anak masih berdiam di kontrakan, sementara sungguh ironis masih terjadi rumah susun yang mestinya buat rakyat bawah, malah beralih fungsi dan kepemilikannya, diserobot oleh kalangan menengah ke atas.
Buruh kecil mau punya rumah? mesti modal nekad, statement ini benar adanya mengingat para developer / bank dalam mencari konsumen menerapkan seleksi yang sedemikian ketat, terutama dari sisi penghasilan, bisa jadi untuk memiliki RSSS ( Rumah Sangat Sederhana Sekali ) saja jika calon pembeli itu buruh yang penghasilannya kurang dari 2X UMK ( Upah Minimum Kabupaten ) sulit rasanya lolos dari akad kredit, kalaupun lolos jangka pinjaman jadi sedemikian lama bisa sampai dengan 20 tahun, pedih rasanya membayangkan jika seorang buruh dalam kesehariannya saja sudah sulit ditambah harus menanggung hutang yang sedemikian lama demi bisa memiliki sebuah rumah, tapi adapula perusahaan yang baik hati, walau tidak bisa membantu dari sisi keuangan dalam kepemilikan rumah bagi karyawannya, dengan terpaksa pihak perusahaan atau karyawan menaikan angka nilai gaji dalam slipnya untuk mendukung kelancaran akad kredit.
Tidak mudah memang bagi sebagian besar buruh di negeri ini, untuk bisa menyisakan uang gaji agar bisa menabung, sementara untuk memenuhi kebutuhan pokok saja berakhir pas-pasan, situasi kelimpungan juga kerap dirasakan buruh, manakala ada kebutuhan mendadak, jadi barang langka rasanya jika ada buruh yang tak pernah merasakan atau terlilit hutang.
" Gaji tidak untuk disisakan, tapi di habiskan pada jalan yang benar"
Mari coba kita berhitung, bagaimana kekuatan keuangan buruh VS pengeluaran dikaitkan dengan UMK yang berlaku saat ini sekitar 1.290.000.
Inilah contoh pengeluaran rutin seorang buruh laki-laki yang sudah berumah tangga dan di karuniai seorang anak SD.
Uang kontrakan / cicilan rumah : 400.000, padahal cicilan rumah rata-rata diatas 500 rb
Uang makan dan lauk sebulan : 750.000, sekedar cukup buat makan asal kenyang, soal nilai gizi no sekian?
Uang SPP dan kegiatan belajar : 100.000, Sekolah SD negeri, sekolah swasta tentu jauh lebih muahal.
Belanja bulanan perlengkapan mandi dll : 200.000
Total : 1.450.000.
Defisit : 160.000
Jika anak nya Balita ada tambahan uang susu setidaknya 300 rb/Bln.
Uang bensin katakanlah motor 4 tak 60 rb/Bln.
Cicilan motor ( soalnya kalau pakai motor lebih ekonomis untuk transport kerja dsb ) 300 rb.
dan masih ada beberapa kebutuhan lain yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang semuanya membutuhkan biaya.
Anak disekolahkan di sekolah SD negeri dengan pertimbangan biayanya lebih terjangkau, tapi sayang punya konsekwensi lain yang harus ditanggung, yakni hanya mendapatkan kualitas pendidikan atau pengajaran yang kurang berkualitas dan intensif, sistem pengajaran yang sudah banyak berorientasi bisnis, jam belajar anak yang cuma sebentar. seakan-akan disengaja agar anak didiknya jadi mengikuti program les, jadi serba salah nggak diikutin les nanti pelajarannya tertinggal, mau diikutin les, biayanya juga ngga murah setidaknya uang 150 ribu rupiah mesti disiapkan.
Belum lagi jika Istri buruh sedang hamil, sudah bukan rahasia lagi kalo dokter-dokter di kota itu condong nggak mau repot mungkin karena terbentur jadwal prakteknya yang padat, berpindah dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit / klinik yang lain, bisa jadi karena salah satu faktor inilah yang membuat sang dokter memutuskan tindakan caesar.
kita tahu untuk operasi semacam ini membutuhkan biaya yang tak sedikit, biaya ini juga yang biasanya memusingkan buruh, tetapi jika tindakannya memang murni karena pertimbangan medis tentu sebagai calon orang tua kita akan bersedia dan menyiapkan dananya walau entah dengan cara dan darimana asal sumber uang itu.
Dari data diatas memberikan gambaran yang jelas, pasti banyak kaum buruh yang terjebak atau merasakan situasi sulit seperti ini.
Hm..m sungguh diperlukan kesabaran, ketangguhan dan manajemen keuangan yang super...super ketat untuk mengatasi ini, apalagi upah sesuai Komponen Hidup Layak di sebagian besar daerah masih jadi fatamorgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar