Oleh : Tri Wahyudi
Hidup di sebuah
komplek perumahan, memang punya kesan yang berbeda dibandingkan dengan kita
hidup di pemukiman umum, hal yang umum mencuat dan ini biasanya di generalisir
adalah “Hidup di perumahan itu sikap individualis nya lebih kental, gampangnya
itu loe..loe...gue..gue” buat ane pendapat itu ada benarnya juga soalnya fakta
terlanjur bicara seperti itu, terlebih jika kita berada di perumahan elit, bisa jadi ama tetangga sebelah aja kita
nggak kenal, pantaslah akrab terdengar di telinga, jika sampai terjadi peristiwa kriminal
khususnya yang terjadi di komplek perumahan, warga dalam komplek tidak atau
kurang mengenal korban ataupun pelaku.
Beberapa tahun yang silam, ketika pertama kali menginjakan
kaki di Jakarta demi ingin merubah hidup khususnya masalah ekonomi, seorang pemuda lugu
sempat mengalami kepahitan dalam hidupnya, gara-gara terobsesi ingin seperti perantauan lain
yang kebetulan masih satu kampung, mereka terlihat hidupnya enak, pakaian necis
bin klimis, pemuda itupun memutuskan untuk ikut bersama mereka, kala itu mereka
bekerja di sebuah Produksion House di bilangan Blok M. Dengan satu syarat dia
mesti tinggal di rumah Bosnya di komplek perumahan Bintaro sana, sebuah perumahan
elit, sepertinya bagi dia yang culun ini melihat deretan rumah-rumah yang
megah seperti ini adalah sebuah pemandangan yang luar biasa, apa yang dia dapati sama sekali tak dinyana; perlakuan yang
tak ramah, disuruh sana-sini dengan nada yang keras dan cerewet, keluar rumah
dibatasi, jadilah dalam kesehariannya cuma mengadu sama yang diatas sana,
atau paling banter tembok yang bak jerujipun ia ajak ngobrol, atau kalau lagi
beruntung ya berkeluh kesah sama pembantu rumah sebelah yang dindingnya
berbatasan langsung di lantai 2, sampai pernah kejadian, dia terkunci di kamar
mandi tidak 5 menit atau sepuluh menit tapi hampir berjam-jam dalam kondisi
kedinginan dan perut kosong, di perumahan seperti ini siapa yang akan menolongnya, semua rumah terlihat seperti tertutup, penghuninya super sibuk dengan
kegiatan masing-masing, akhirnya iapun kabur, lari dan berlari yang penting
hengkang dari rumah itu, entah harus naik apa, bekal uang sudah menipis, mana
jakarta masih sangatlah asing iapun menyetop metromini jurusan bintaro-Blok
M, habis itu perjalanan di lanjutkan naik bis besar dengan tujuan Bekasi.
Nggak kebayang wajah paniknya seperti apa yang terpancar dari wajahnya kala itu, setitik episode hidup yang akan dijadikan pelajaran untuk menapak hari-hari berikutnya...gumam dia saat ini.
Nggak kebayang wajah paniknya seperti apa yang terpancar dari wajahnya kala itu, setitik episode hidup yang akan dijadikan pelajaran untuk menapak hari-hari berikutnya...gumam dia saat ini.
Pembaca tentu sudah paham dan khatam, bahwasanya sebagai
manusia kita adalah sebagai makhluk sosial, dimanapun kita berada kita tidak
akan terlepas dari peran manusia ataupun makhluk lainnya, semakin kita jauh dan
tidak bijaksana dengan manusia lainnya, maka orang lainpun cenderung akan punya
sikap yang sama, yakni menjauh bahkan bisa jadi membenci kita.
Saya merasa bersyukur, pernah merasakan sekitar tujuh
tahunan hidup di perumahan, kesan yang saya tangkap sejauh ini, pola hubungan
antar warga saat itu terbilang akrab dan hangat, jamak terlihat di gang-gang
kita berkumpul, bersenda gurau, sesekali malam di akhir pekan masih bisa bakar
ikan atau ayam bareng, ngliwet bareng, olahraga di fasum, pengajian rutin,
kerja bakti bulanan dan lain-lain.
Dari sekian Warga, ya jamaklah tetap ada aja
segelintir orang yang sama sekali tak mau bersosialisai, cuek dengan tetangga,
enggan bertegur sapa, tidak aktif di ke-Rtan, nampaknya itu sudah jadi
ketentuan dimanapun kita berada kemungkinan besar kita akan bertemu dengan
orang yang demikian, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana diri kita mampu
menjadi pribadi yang baik dan tentunya bermanfaat bagi orang lain.
Di RT/di perumahan kamipun ada sosok yang menjelma menjadi
makhluk seperti itu, sebutlah si A, dia bertitel dokter, aktifitas beliau di
lingkungan tidak terlihat banyak, paling banter terlihat saat berangkat kerja
ataupun pulang kerja kalopun kebetulan
berpapasan dengan warga yang lain, tak pernah bertegur sapa.
hingga ketika malam mulai merambat sepi, suara manusia
tergantikan beberapa nyanyian binatang malam, ketika sebagian besar warga
memilh tinggal diam didalam rumah, kami yang sedari tadi asyik kogkow-kongkowpun,
mulai terimbas angin dan dinginnya malam, inilah yang jadi alasan buat kami
untuk segera beranjak pulang, baru berapa langkah kami berjalan, lamat-lamat
terdengar teriakan minta tolong: tolong.....tolong, sontak langkah kamipun
terhenti, “ wah ada suara orang minta tolong, ada apa pula malam-malam begini,
kalo kemalingan kayaknya sich engga khan tempat kita dijaga 24 jam, atau
barangkali ada kekerasan rumah tangga, nach yang begini ribet juga, entar
dikira ikut campur urusan keluarga orang, Pak W yang kebetulan paling senior
usianya diantara kami berujar udah nggak usah sibuk menduga-duga, nyok kita
samperin aja darimana arah sumber suaranya, wah Pak W suaranya dari rumah pak
Dokter, tapi aneh kayaknya kondisi rumahnya tertutup gitu kayak nggak ada
orang, tanpa dikomando serempak kamipun mempercepat langkah kami menuju arah
yang sama, rumah dokter A, tolong....tolong suara itu makin jelas terdengar
walau suaranya mulai parau dan tidak sekencang seperti tadi, aneh perasaan
sudah deket banget sumber suaranya, tapi orangnya tak jua terlihat,
jangan....jangan...ini hantu pak koq nggak ada siapa-siapa, telinga kamipun
makin di fokuskan ke sumber suara, saya pun terperanjat nampak didepan kami ada
bagian kecil ekor motor yang nyungsep masuk kedalam tanah, posisinya nungging
masuk kedalam, oalah rupanya Pak Dokter dan motornya kompakan terperosok
dalam lubang septy tank, posisi Pak dokter tidak terlihat dari luar karena
terhimpit motornya dan melihat posisi
seperti itu jelas tanpa bantuan orang lain, hampir mustahil bagi beliau bisa
keluar dari lubang itu, tanpa pikir panjang walau sempet ada yang kasak-kusuk diantara kami yang berucap " udah biarin aja lach, toch diamah orangnya begono" keegoisan sikap seperti itu akhirnya kami enyahkan jauh-jauh sebagai tetangga kamipun segera
mengevakuasi korban dari tempat yang tidak seharusnya itu, beruntung tidak ada
luka yang serius.
Beberapa hari setelah kejadian itu, ada perubahan besar
dalam diri sang Dokter tetangga kami, sikapnya jadi ramah, tak enggan lagi
bertutur sapa dengan kami sebagai tetangganya, itulah mungkin hikmah dari
terperosoknya beliau ke septy tank, Tuhan telah memberikan teguran dan jalannya
pada beliau dan kami, bahwa hidup memang harus berbagi dan menebarkan kasih
sayang diantara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar