Pagi masih berselimut kabut pekat, buliran-buliran embun bergiliran menetes membasahi bumi, sang mentari belum beranjak dari peraduannya, mobil pickup hitam menyeruak jalanan yang masih relatif gelap, dibalik kemudi ia bersandar santai, pandangannya fokus melihat kedepan..hm..m pagi ini kabut cukup mengganggu jarak pandang tak lebih dari 50meter, moga aja batu bata dan orang yang mau bongkar muat sudah siap disana, aku harus kembali ke warung tidak terlalu siang, soalnya ini mobil dah lumayan antri buat ngangkut pesanan yang lain, untuk membuang kegalauan hati radio mobil kuputar acara lagu-lagu islami,,,semoga sejuknya pagi selaras dengan sejuknya batin ini, ku berdoa semoga rejeki yang kujemput tidak semata melimpah, yang lebih utama ada keberkahan didalamnya.
Jam 05:15 sampailah ia di tobong ( tempat pembuatan bata ) dari jejeran tobong rata-rata masih sepi aktifitas, aroma asap khas pembakaran merang sudah akrab menghampiri, syukur onggokan tumpukan bata yang mau diangkut positif masih ada ( soalnya kalo lagi apes, tumpukan bata memang ada tapi statusnya sudah terjual), sayangnya orang yang mau muat belum ada, kukitari bangunan tobong seraya memanggil sang mpunya tobong, tapi nihil suara sahutan, paling banter ada suara kodok dan jangkrik mungkin kedua binatang itu terlalu gembira menyambut datangnya pagi, akhirnya kuputuskan untuk berjalan sedikit jauh ke pematang sawah, jari kaki beralaskan sandal jepit menyeruak membelah rerumputan basah, kotor dan sedikit tergelitik rasa gatal. kaget !!!! pandanganku terbentur seonggok bayangan hitam, tidak terlalu besar tidak pula terlalu kecil, tidaklah tinggi tidak pula disebut pendek, pagi ini memang terasa lebih gelap apalagi awan bergelayut mendung, owh..h benda itu bergerak naik turun, kadang berpindah pindah, semakin dekat kaki ini melangkah kearah benda yang dituju, oalah rupanya seorang ibu setengah renta, sepagi ini tangannya sudah bermandikan lumpur, sama-sama kaget kami sempat terperangah bertatapan, untuk mencairkan suasana kusapa beliau dengan hangat, kusodorkan tanganku untuk bersalaman sambil sedikit kubungkukan badan, beliau berujar " tanganku kotor de ra sah salaman"(tangan saya kotor de)tapi aku tetap meraih tangan beliau" samimawon (sama saja) bu tangan kulo nggih sampun biasa (tangan saya sudah biasa) kotoran koq bu, malah kadang atau bahkan sering mbantu mbongkar bata, muat pasir dll akhirnya terjadilah dialog akrab diantara kami. inilah sekelumit obrolan dipagi buta itu :
Aku : Bu sepagi ini Ibu sudah ada disini, kalo saya lihat dari hasil cetakan bata yang sudah berjejer ini sepertinya ibu sudah lumayan lama memulai mengolah adonan tanah ini.
Ibu : Iya de, inimah sudah rutinitas keseharian saya, usai sholat shubuh dan beres-beres rumah seperlunya, saya mesti bergegas berangkat kemari, tumben de..anak-anaknya ngga pada ikutan.
Aku : (Hmm..m rupanya Ibu ini hapal juga, kalo saya suka sekali dikawal sama anak-anak:Elsa dan Gilang) anu Bu yang gede nanti khan sekolah, kalo yang kecil tadi ditinggal masih bobo.
Ibu : Oh ya de, kalo yang gede, yang perempuan itu umur berapa yach?
Aku : Baru umur 13 tahun bu, maaf bu, emang kenapa pake nanya umur anak saya?
Aku : Baru umur 13 tahun bu, maaf bu, emang kenapa pake nanya umur anak saya?
Ditanya begitu Ibu itu tampak mengernyitkan dahi, pandangannya kosong, seakan sedang mengingat peristiwa lalu, tangannyapun dikibaskan hingga sejumput lumpur yang menempelpun ikut terlempar, jari-jari beliau, yang mulai keriput menyeka matanya , oh...h ada air mata disana, tapi cuma sebentar raut kesedihan beliau, sekejap terbalur senyuman (he..he..he akupun ikut senyum kuda, soalnya dalam batin masih terasa aneh sich ada apa gerangan?)
Ibu : Nggak apa-apa dek, saya cuma jadi ingat anak ke-dua saya, juga perempuan waktu itu umur 16 tahun, tapi setahun lalu sampun dipendet kalih sing gadah (sudah diambil sama yang punya)
Aku : kalo boleh tahu, meninggalnya kenapa?
Ibu : Anu de, ia sakit kena diabetes, tapi saya salut sama semangat hidup, ketaatan dalam belajar dan ibadahnya ditambah baktinya sama orangtua, bahkan terakhir-terakhir sebelum meninggal ia masih giat pengin terus mesantren di Cilacap sana, uang hasil tabungan dulu ia belikan kambing betina, tiap hari tidak sungkan ia selalu ngarit (cari pakan rumput), sampai kambingnya beranak pinak, sambil ngarit ia seringkali membawa buku untuk dibaca, setiba dirumahpun ia dengan telaten mengajari adik-adiknya belajar, kalaupun terpaksa kambingnya ada yang dijual uangnya pasti disisihkan untuk membeli perlengkapan sekolah adik-adiknya, kalo ditanya sama Ibu “ nangopo to kowe telaten temen ngurusi adik-adikmu, mbok sekali-kali duite kanggo nyenengena awakmu”(kenapa sich kamu begitu telaten mengurus adik-adikmu, bukannya sekali-kali duitnya dipake buat kesenangan sendiri) ia suka menimpali demikian: kesenangan saya itu ya, kalo lihat adik-adik jadi bisa membaca, bisa riang dalam belajar dan bermain, serta bisa meringankan tugas Ibu dan Bapak, makanya ini (sambil menunjuk kambing kesayangannya) ini juga untuk adik-adik dan Ibu kelak.
Ibu itu menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan ceritanya, sampai saat-saat terakhir ia mau meninggal, saat itu sakitnya memang semakin parah, ia diantar pulang oleh kyainya dari pesantren (rupanya ia salah satu santri yang sangat disayang), pak kyai sempat bicara sama Ibu, “ Ibu ini ananda saya antar pulang, bukan saya menolak ia untuk terus belajar dipesantren, anak ibu anak yang baik, kesehariannya berhiaskan ibadah, baca Al’Quran, belajarnya tekun, hormat sama guru, pergaulannya hangat sama yang lain, saya sempat beberapa kali ngobrol dengan ia soal keluarga di rumah, ia sangat mencintai Ibu, Bapak dan adik-adiknya, ia punya cita-cita meninggalkan Ilmu untuk adik-adiknya agar lebih maju dibandingkan dia, dengan bangga saya antar anak Ibu untuk kembali dalam pelukan Ibu, ibaratnya mau belajar apalagi, ia begitu bakti sama orang tua, dimata saya ia telah lulus sebelum masa belajarnya usai, tiba-tiba pak Kyai melirihkan suaranya, tapi disisi lain Ibu harus belajar ikhlas, maaf kalo terpaksa harus saya katakan, firasat saya begitu kuat sepertinya anak ibu sudah tidak lama lagi dipanggil yang Kuasa.
Sore itu juga Pak Kyai pulang ke Cilacap, esok paginya seperti biasa ia masih sempat kasih makan kambing-kambingnya, tapi anehnya satu kambing betina yang paling tua tidak mau makan, maunya menjilati kaki anak perempuan saya terus, sambil belajar bareng adik-adiknya berulangkali ia mencium dahi adik-adiknya, sambil sesekali diselingi bersenda gurau, Ibu nggak bisa dibohongi sebetulnya kondisinya semakin lemah, tapi ia selalu berusaha tersenyum, sampai setelah sholat dhuhur tiba-tiba ia berpamitan, “ Bu kulo pamit bubu riyin nggih” (bu saya pamit mau tidur dulu ya) ibu pun menimpali oh ya sana istirahat dulu biarkan adik-adikmu bermain sendiri, ia pun meraih tangan ibu untuk bersalaman, oalah nduk..nduk ndadak nganggo salaman mbarang kaya arep lungo adoh bae ( oalah nak, masa pake salaman segala kayak mau pergi jauh ), selang satu jam-an ada perasaan nggak enak ibu muncul, koq jadi ingat welingan (omongan) Pak Kyai sore kemarin, Ibu pun menyusul untuk melihat ia dikamar, tumben nyenyak banget tidurnya, adzan asyar berkumandang biasanya ia sudah mengambil air wudlu untuk sholat, akhirnya ibu bangunkan ia, tapi nggak bangun-bangun Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, anakku sudah berpulang dengan tersenyum.
Sampai mungkin tiga harian kambing betina yang pertama ia beli tak mau makan (kalaupun makan sedikit), mengembik terus seperti kehilangan majikannya, masih menurut cerita Ibu itu, kamar yang ditinggali putrinya kadang terasa harum, bahkan beliau sempat bermimpi, beliau mengantarkan makanan untuk putrinya, dalam mimpinya putrinya berujar “ Ibu ra sah kesel-kesel njujuge daharan kangge kulo, kulo sampun wareg di dulang mas komar (Ibu nggak usah cape-cape antarkan makanan buat saya, saya sudah disuapin Mas komar ia adalah kakaknya yang meninggal saat balita dulu).
Demikian secuplik cerita mudah-mudahan bermanfaat terutama buat saya pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar