(1)Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam)hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu ) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(2)Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3)Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum setempat.
Upah perhari untuk karyawan harian yang bekerja 5 hari dalam seminggu : UMK/21.
Upah perhari untuk karyawan harian yang bekerja 6 hari dalam seminggu : UMK/25.
Berapa besarnya nilai THR yang mesti diterima pekerja karyawan harian ?
Berhak mendapatkan upah sebesar 1 x upah sebulan., sesuai dengan KepMenaker No: 04/Men/1994.
Pasal 3 :
(2)Selama menjalankan hak istirahat panjang pekerja/buruh berhak atas upah penuh dan pada pelaksanaan istirahat tahun kedelapan pekerja/buruh diberikan kompensasi hak istirahat tahunan sebesar setengah bulan gaji.
(3)Gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
- Dalam prakteknya Dewan pengupahan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menentukan tingkat upah yang layak rekomendasinya sering tidak diakomodir, padahal angka yang didapatkan berasal dari survey dilapangan dengan mengambil sampling kebutuhan minimum yang biasa harus dipenuhi pekerja/buruh, ironis sementara Dewan pengupahan tersebut anggotanya sudah memenuhi unsur perwakilan berbagai pihak, baik pemerintah, serikat pekerja/buruh, pengusaha, akademisi dll.
- Pasal diatas tidak memberikan petunjuk bagaimana aturan penyesuaian kenaikan upah bagi pekerja/buruh yang sudah mendapatkan upah lebih tinggi dari Upah minimum misal pekerja/buruh tersebut sudah bekerja lebih dari 2 tahun.
- Pasal diatas tidak secara tegas mewajibkan pengusaha untuk memberikan upah yang diterima pekerja/buruh, harus terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap ( paling tidak tunjangan yang merupakan kebutuhan mendasar ) misal tunjangan rumah, tunjangan anak, tunjangan lauk, sehingga seandainya pengusaha hanya menerapkan upah pokokpun tidak akan terkena sanksi pasal ini, bahkan untuk pengusaha yang sebelumnya sudah menerapkan upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan atau dikenal sebagai gaji tetap, tunjangan tersebut ikut dikeluarkan dari komponen gaji tetap, dengan cara tunjangan tersebut dibuat tersendiri menjadi tunjangan tidak tetap atau lebih ekstrim lagi tunjangan tersebut dihapuskan!, sehingga otomatis dalam penerimaan upah lembur perjamnya akan berkurang karena komponen tunjangan telah dikeluarkan dari gaji tetap, begitu pandainya pengusaha sehingga supaya angka tunjangan nominalnya menjadi tidak tetap, dibuatlah rumus misal dengan total tunjangan tadi dibagi berdasar angka kehadiran dibagi 20.
Untuk itulah hendaknya setiap ada pelanggaran yang dilakukan pekerja, semestinya pengusaha tidak semena-mena memberikan sanksi hanya didasarkan atas argumen dari pengusaha, berilah ruang pembelaan terhadap yang bersangkutan, karena umumnya saat ini yang terjadi diberbagai perusahaan sanksi-sanksi terhadap pekerja diberikan belum dilakukan pemeriksaan, yang obyektif atas pandangan kedua belah pihak, sehingga tidak ada proses pembelaan yang memadai, apalagi jika tindakan sanksi yang diberikan, diselubungi tindakan intimidasi terhadap pekerja tersebut, atau bahkan pihak serikat pekerja yang ada di perusahaan tidak ditembuskan atau sengaja tidak dilibatkan.
Prinsipnya turunnya surat peringatan itu harus didasarkan pada upaya pembinaan yang terarah, sehingga pekerja yang terkena SP benar-benar menyadari atas kesalahannya dan akhirnya timbul kesadaran dari dirinya untuk terus,melakukan perbaikan dan tidak melakukan kesalahan yang sama .
Peraturan yang mengatur tentang tata cara penyelesaian hubungan kerja diatur dalam :
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No: KEP-150/MEN/2000
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No:KEP-78/MEN/2001
Harusa diingat bahwasannya Kep Men No: 150, sebenarnya isinya sudah cukup bagus bagi kepentingan Tenaga kerja berkenaan dengan apa yang seharusnya diperoleh jika terjadi segala bentuk pemutusan hubungan kerja, baik itu karena PHK, mengundurkan diri, atau pemutusan yang diakibatkan oleh kesalahan berat, sayang hanya dalam jangka waktu setahun peraturan tersebut di rubah dengan adanya Kep Men No: 78/2001, dimana isinya sedikit banyak merugikan pihak tenaga kerja.
Baik sebelum kita membicarakan lebih lanjut tentang seputar aturan pemutusan hubungan kerja, ada baiknya kita ketahui beberapa definisi dari hal-hal yang berkaitan dengan Pemutusan hubungan kerja :
Dalam Bab 1 mengenai ketentuan umum pasal 1 dalam Kep Men No: 150/2000 yang dimaksud dengan :
Pemutusan hubungan kerja adalah:
Pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan ijin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran (massal) adalah :
Pemutusan hubungan kerja terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Uang pesangon adalah :
Pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja.
Uang penghargaan masa kerja adalah :
Uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.12 tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja.
Uang ganti kerugian adalah :
Penggantian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh panitia daerah atau panitia pusat sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja.
Pasal 2 Kep Men No-150/2000 :
(1)Setiap pemutusan hubungan kerja harus mendapatkan ijin dari panitia Daerah untuk pemutusan hubungan kerja perorangan dan Panitia Pusat untuk pemutusan hubungan kerja masal.
(2)Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksudadalam ayat (1), pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja tanpa meminta ijin kepada panitia Daerah atau Panitia Pusat dalam hal:
a.Pekerja dalam masa percobaan.
b.Pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat;
c.Pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
d.Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu;
e.Pekerja meninggal dunia.
(3)Permohonan pemutusan hubungan kerja tidak dapat diberikan apabila pemutusan hubungan kerja didasarkan atas:
(1)Hal-hal yang berhubungan dengan kepengurusan dan atau keanggotaan serikat pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja atau dalam rangka membentuk serikat pekerja atau melaksanakan tugas-tugas atau fungsi serikat pekerja di luar jam kerja atau dalam jam kerja atas ijin tertulis pengusaha atau yang diatur dalam kesepakatan kerja bersama.
(2)Pengaduan pekerja kepada pihak berwajib mengenai tingkah laku Pengusaha yang terbukti melanggar peraturan negara.
(3)Paham, agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin.
(4)Pemutusan hubungan kerja dilarang :
a.Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (bulan) terus menerus.
b.Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaanya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui pemerintah.
d.Karena alasan menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan.
e.Karena alasan pekerja wanita melaksanakan kewajiban menyusui bayinya yang telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama atau peraturan perundang-undangan.
f.Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 15 Kep Men No: 150/2000 :
(1)Dalam hal pekerja mangkir bekerja paling sedikit dalam waktu 5 (lima) hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara tertulis tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah, maka pengusaha dapat melakukan proses pemutusan hubungan kerja.
(2)Pekerja yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena melakukan mogok kerja yang dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dinyatakan sebagai mangkir.
Pasal 16 Kep Men No: 150/2000 :
(1)Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh panitia daerah atau panitia pusat dan apabila pengusaha melakukan skorsing sesuai ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama, maka pengusaha wajib membayar upah paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah yang diterima pekerja.
(2)Skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada pekerja yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada pekerja yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri.
(3)Pemberian upah selama skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 18
(1)Ijin pemutusan hubungan kerja dapat diberikan karena pekerja melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a.Penipuan, pencurian dan penggelapan barang / uang milik pengusaha atau teman sekerja atau milik teman pengusaha; atau
b.Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan pengusaha atau kepentingan Negara; atau
c.Mabok, minum-minuman keras yang memabokan, madat, memakai obat bius atau menyalahgunakan obat-obatan terlarang atau obat-obatan perangsang lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, ditempat kerja, dan ditempat-tempat yang ditetapkan perusahaan;atau
d.Melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di tempat kerja;atau
e.Menyerang, mengintimidasi atau menipu pengusaha atau teman sekerja dan memperdagangkan barang terlarang baik dalam lingkungan perusahaan maupun diluar lingkungan perusahaan; atau
f.Menganiaya, mengancam secar a fisik atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau keluarga pengusaha atau teman sekerja;atau
g.Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau kesusilaan serta peraturan perundangan yang berlaku
Dll s/d huruf k.
(2)Pengusaha dalam memutuskan hubungan kerja pekerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus menyertakan bukti yang ada dalam permohonan ijin pemutusan hubungan kerja
(3)Terhadap kesalahan pekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan tindakan skorsing sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan Panitia Daerah atau Pusat.
(4)Pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhak atas uang pesangon tetapi berhak atas uang penghargaan masa kerja apabila masa kerjanya telah memenuhi syrat untuk mendapatkan uang penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian.
Sedang dalam Kep Men No: 78/2001
Kesalahan yang sama tidak mendapatkan uang penghargaan masa kerja hanya mendapatkan uang ganti kerugian.
(5)Pekerja yang melakukan kesalahan diluar kesalahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diputuskan hubungan masa kerjanya dengan mendapat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.
Pasal 24 Kep Men No: 150/2000
Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 meliputi :
a.Ganti kerugian untuk istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
b.Ganti kerugian untuk istirahat panjang bilamana di perusahaan yang bersangkutan berlaku peraturan istirahat panjang dan pekerja belum mangambil istirahat itu menurut perbandingan antara masa kerja pekerja dengan masa kerja yang ditentukan untuk dapat mengambil istirahat panjang.
c.Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ketempat dimana pekerja diterima bekerja.
d.Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% (lima belas per seratus) dari uang pesangon dan a uang penghargaan masa kerjanya telah memenuhi syarat untuk mendapatkan uang penghargaan masa kerja.
Pasal 26 Kep Men No: 150/2000
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja kerena pekerja mengundurkan diri secara baik atas kemauan sendiri, maka pekerja berhak atas uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian sesuai ketentuan pasal 23 dan pasal 24.
Sedang dalam Kep Men No: 78/2001
Dalam hal mengundurkan diri secara baik atas kemauan sendiri hanya mendapatkan uang ganti kerugian.
Pasal 33 Kep Men No.150 /2000
"Pembagian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian sebagaimana di maksud dalam pasal 22, pasal 23 dan pasal 24 harus dilakukan secara tunai"
Pasal 27 Kep Men No: 78/2001
(1)Dalam hal pemutusan hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja/buruh tetapi pekerja/buruh dapat menerima pemutusan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak uang pesangon paling sedikit sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 23, ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan pasal 24, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain.
(2)Dalam hal pemutusan hubungan kerja massal karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus menerus disertai dengan bukti laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling singkat 2 (dua) tahun terakhir, atau keadaan memaksa (force majeur), maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 22, uang penghargaan masa kerja satu (satu) kali ketentuan pasal 23 dan ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan pasal 24 kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 31 Kep Men No: 78/2001
(1)Dalam hal pekerja/buruh putus hubungan kerjanya karena usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf c, dan pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, uang penghargaan mas kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 huruf d, kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(2)Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil dari jumlah uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 22 dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 23 dan ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan pasal 24 huruf d, maka selisihnya dibayar pengusaha.
(3)Dalam hal penegusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang putus hubungan kerjanya karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 22 dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal (23) dan ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan pasal 24, kecuali atas persetujuan kedua bela pihak ditetapkan lain.
Pasal 32
Dalam hal pekerja/buruh putus hubungan kerjanya karena meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (2) huruf e, maka pengusaha wajib membayar santunan kepada ahli waris pekerja/uruh yang sah, uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan pasal 23 dan ganti kerugian 1 (satu) kali ketentuan Pasal 24.
BAB IV
PENETAPAN UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA DAN GANTI KERUGIAN
Pasal 21
Dalam hal panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan ijin pemutusan hubungan kerja maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada pekerja yang bersangkutan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan atau ganti kerugian.
Pasal 22
Besarnya uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ditetapkan paling sedikit sebagai berikut :
a.Masa kerja kurang dari 1 tahun 1 bulan upah
b.Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun 2 bulan upah
c.Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun 3 bulan upah
d.Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun 4 bulan upah
e.Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun 5 bulan upah
f.Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun 6 bulan upah
g.Masa kerja 6 tahun atau lebih 7 bulan upah
Pasal 23
Besarnya uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ditetapkan sebagai berikut :
a.Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun 2 bulan upah
b.Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun 3 bulan upah
c.Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun 4 bulan upah
d.Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun 5 bulan upah
e.Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun 6 bulan upah
f.Masa kerja 18 tahun atau lebih tetap[i kurang dari 21 tahun 7 bulan upah
g.Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun 8 bulan upah
h.Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah
Oleh : Wiwiek Wijanarti ( Portal HR )
Pertanyaan
Uang Pisah, Apa itu?
Apa yang dimaksud dengan uang pisah? Karyawan yang mengundurkan diri tidak berhak menerima uang pesangon atau uang jasa, kalau uang pisah bagaimana?
Rahma
Jawaban
Karyawan yang mengundurkand diri tidak mendapatkan uang jasa dan/atau uang pesangon namun mendapatkan uang penggantian hak dan mendapatkan uang pisah. Besar dan pelaksanaan pemberian uang pisah diatur sendiri oleh perusahaan dan dituangkan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja besama (lihat Pasal 162 UU No. 13/2003). Jika uang pisah belum diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja besama, berarti diperlukan usaha khusus untuk merundingkan hal ini dengan perusahaan. Selamat berunding, semoga berhasil.
Pertanyaan
Peraturan tentang Uang Pisah, Apa Rujukannya?
Jika pemberian uang pisah tidak bersifat normatif, maka guna mencapai kesepakatan mengenai besarannya, perusahaan dan pihak karyawan memerlukan acuan yang dapat digunakan. Apakah Kepmen 150/2000 dapat menjadi acuan, atau adakah peraturan lain yang dapat kami rujuk?
Esther Yonita
Jawaban
Penetapan UANG PISAH bagi karyawan yang mengundurkan diri sepenuhnya menjadi kebijakan perusahaan, sehingga tidak ada peraturan maupun perundangan yang mengatur hal ini. Jika Kepmen 150/2000 disepakati untuk dijadikan acuan oleh pihak-pihak yang terkait, silakan digunakan.
Yang penting adalah ada aturan yang jelas mengenai UANG PISAH yang disepakati oleh pihak-pihak terkait dan disampaikan pada seluruh karyawan.
Dalam prakteknya pengusaha banyak yang tidak beritikad baik dalam penangan pemutusan hubungan kerja, mereka selalu mancari cara bagaimana caranya memPHK dengan tanpa memberikah uang pesangon, dengan cara pekerja tersebut diintimidasi supaya mengundurkan diri, cara-cara seperti inilah yang dirasa kurang elegan dan mencedrai hubungan industrial pancasila, jika karyawan tersebut bertahan maka cara lainpun dilakukan misal dengan memindahkannya ke bagian unit kerja yang lain sudah menjadi rahasia umum pekerja yang demikian akan dibuat tidak betah, jadi bukan upaya pembinaan terlebih dulu yang diutamakan tapi bagaimana menyingkirkan pekerja tersebut dari perusahaan, semoga kejadian-kejadian ini lambat laun akan hilang seiring dengan makin matang dan dewasanya semua pihak dalam memandang begitu pentingnya jalinan hubungan industrial yang saling bersinergi dan saling menjaga hak dan kewajiban baik itu pekerja maupun pengusaha.
Demikian tulisan singkat ini kami sampaikan, semoga bermanfaat ......
2. Tolak kenaikan tarif dasar listrik,
3. Tolak ACFTA untuk lindungi industri nasional.
4. Revisi UU No. 13/2003 tentang pengurangan pesangon,
5. Tolak outsourcing,
6. Tegakkan pendapat tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rp 5 juta.
7. Revisi UU No. 32/1992 ganti menjadi wali amanah,
8. Revitalisasi pengawasan keternagakerjaan,
9. Tegakkan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),
10. Tegakkan pesangon bagi pekerja Pekerja Kontrak Waktu Tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar