Di tulis kembali oleh : Tri Wahyudi
Alkisah hiduplah seorang petani dengan memiliki keledai yang sudah tua dan tidak produktif. Suatu waktu, keledai itu terpelosok kedalam sebuah sumur tua yang tidak dipergunakan lagi. Melihat itu sang petani berfikir bahwa dia sebenarnya memang berencana menutup sumur tua tersebut.
Kemudian sang petani memanggil anak-anak dan tetanggganya agar membantu memasukan tanah dan kotoran ke dalam lubang sumur. Menyadari bahwa dirinya sedang dijatuhi dengan tanah dan kotoran, dirinya dalam bahaya maka menangislah sang Keledai sejadi-jadinya. Tapi dia tidak tinggal diam. Sang Keledai terus menggerak-gerakan badannya agar terbebas dari tanah dan kotoran yang jatuh atas punggungnya. Sementara petani dengan keluarga dan tetangganya terus menjatuhi tanah dan kotoran.
Sungguh yang terjadi justru menjadi petani dan tetangganya takjub. Kotoran dan tanah yang dimasukan kedalam sumur, jatuh diatas punggung dan kepala Keledai, lalu digerak-gerakannya sehingga terjatuh kedasar sumur. Tanah dan kotoran itu menjadi pijakan kaki Keledai agar dia tidak terkubur.
Semakin ditimpakan tanah dan kotoran dipunggungnya. Sang Keledai semakin menggerakan badannya dan kaki-kakinya pun semakin mempunyai pijakan ke atas permukaan sumur. Sampai akhirnya keledai loncat dari sumur dan terbebas dari dua masalahnya sekaligus. Masalah terpelosok ke dalam sumur dan masalahnya bakal terkubur hidup-hidup
Pelajaran bisa diambil dari kisah ini. Bahwa kita setiap hari ditimpa kotoran dan masalah dalam kehidupan. Masalah itu terus datang dan mungkin tidak pernah berhenti. Tetapi dengan kita menggerakan badan dan menggerakan seluruh sumber daya yang kita miliki kita akan terbebas dari semua masalah dalam kehidupan ini.
Bahkan terkadang mestinya kita belajar untuk berterima kasih terhadap sesuatu yang mungkin bagi kebanyakan orang mutlak dianggap hal negatif yang menimpa kita, justru berawal dari seringnya kita ditempa suatu problematika hidup, sesungguhnya itulah yang membuat kita semakin dewasa dan matang, untuk lebih mantap lagi, mengatur strategi untuk menapaki hidup.
Bersyukur, sabar dan terus belajar mengambil hikmah dari sebuah peristiwa adalah tindakan bijak yang akan menguatkan diri kita, selain sebagai wahana ladang amal tentunya, arah hidup semakin terang jika kita memang dari awal mempersiapkan diri untuk membukanya, ibarat anak sekolah sebelum diadakan ujian, pasti diperlukan usaha untuk belajar setelah ujian usai tentu akan mendapatkan hasil yang lebih memuaskan, lain halnya dalam menghadapi cobaan hidup kita perlu belajar didepan dan setelah sebuah peristiwa itu terjadi, sukses ataupun gagal kita harus terus konsisten berbenah dan mengadakan evaluasi, sobat seberat apapun cobaan menimpa kita tetaplah bersukacita menjalani hidup, jadikan stress sebagai obat jiwa, laksana anak-anak yang tidak pernah tahu akan menjadi apa mereka kelak, mereka tak sadar, bahwa oang tua mereka berjibaku untuk menghidupi keluarga, tapi mereka tetap riang bermain dan bercengkrama, membangun kecerdasan sosial (akrab dengan lingkungan, membentuk jaringan dan komunitas yang positif ), disamping kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual mutlak diperlukan, ingat kesuksesan seseorang terlihat sejauh mana ia membentuk sosok seperti magnet selalu bisa diteladani dalam segala hal, kehadirannya selalu bermanfaat dan dibutuhkan orang lain, kata-katanya santun dan mampu menggerakan orang untuk bersedia bergerak bersama untuk melakukan ha;-hal positif.
Tidakkah kau perhatikan, kehidupan laba-laba dan sarangnya, bukankah berapalipun kau mencoba menghancurkan / membersihkan sarang laba-laba, berulang kalipula laba-laba tanpa lelah terus dengan sabar akan merajut sarangnya kembali, “JADI SUDAH SELAYAKNYA KITA SEBAGAI MANUSIA HARUS MAMPU BERSEDIA BANGKIT DARI SETIAP KEGAGALAN”
Sebuah cerita tentang seekor lalat yang terjebak dalam sebuah ruangan berkaca patut kita ambil pelajarannya, ketika sang lalat berusaha untuk keluar dari dari ruangan yang semakin lama-semakin dirasakan bagi dirinya semakin pengap, kebetulan disamping jendela terdapat kaca bening sehingga pemandangan diluar terlihat dengan jelas, tapi sayang dia tidak menyadari bahwa antara dirinya dan bagian luar sana tersekat dinding kaca, yang cukup lebar, dia berpikir inilah satu-satunya jalan untukku bisa keluar, dengan serta merta diapun mencoba keluar lewat situ, ngiun...ngiung...ngiung tanpa pikir panjang dengan kegirangan dia langsung mengarahkan dirinya untuk segera keluar lewat situ, braa..ak terdengar dentuman keras, rupanya dengan keras dia telah menabrak kaca tersebut, “ aduh badanku pegal semua, kepalaku kunang-kunang sial kenapa aku tak bisa keluar”, kembali dia mengumpulkan tenaganya, kakinya direntangkan, sayap dikepakan, kembali dia meluncur kearah yang sama, br..a.ak. Benturan kembali terjadi, terus dia lakukan berulang kali, berulangkali pula dia alami kegagalan dan tak bisa berlari kearah luar, kebetulan ada seekor kumbang yang sedang tidur diruangan yang sama, kontan saja dia terbangun mendengar kegaduhan yang ditimbulkan oleh si lalat, “heh ..lalat ngapain pagi-pagi gini bikin ribut dan ganggu saya lagi tidur”, lalat dengan kondisinya yang kepayahan dan nafas masih tersengal, menyahut “ aduh sorry kawan anu e.eh sebenarnya dari tadi aku sedang berusaha keluar dari ruangan ini, tapi entah kenapa setiap aku terbang kearah luar, badanku terbentur sesuatu”, kumbangpun menyahut dengan diringi tawanya yang keras, “wk..wk..wk bodoh nian kau lalat, kalau kau ingin tahu bagaimana caranya keluar dari ruangan ini, nih aku tunjukan jalan keluarnya, kebetulan aku juga mau senam pagi dan minum embun-embun dedaunan”, se..et dengan cepat kumbang keluar lewat jalan lain, yakni lewat ventilasi diatas jendela kaca yang kebetulan, penutupnya sudah robek termakan usia, “ he..he..he lihatlah lalat aku sudah berada diluar, mudah khan!, lalatpun terbengong keheranan, tanpa malu-malu diapun mengikuti langkah dari kumbang.
Pelajaran : untuk bangkit dari sebuah kegagalan, tidak cukup kita bermodalkan tekad yang membabi buta, justru dari kegagalan itulah akan menciptakan rumus terbaik untuk menapaki hidup, jangan terfokus pada betapa berat kegagalan itu, menghantam kita, atau terfokus pada satu jalan, gali jalan-jalan lain yang mungkin lebih mudah dan efektif untuk mencapai sebuah sasaran.
JANGAN MEMBENTAK ANAK
Sebuah kisah mengharukan yang mengajarkan kita untuk tidak bertindak berlebihan dalam menghadapi kenakalan anak-anak. (kisah ini diambil dari salah satu forum)
Sepasang suami isteri seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang di sore hari, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini ???”
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan “Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Dita yg membuat gambar itu ayah.. cantik …kan!” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu.” jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja!” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah. “Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah.. Ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah.. sayang ibu.”, katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil?... Dita janji tdk akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?… Bagaimana Dita mau bermain nanti?… Dita janji tdk akan mencoret-coret mobil lagi, ” katanya berulang-ulang.
Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf.
Buat anda yang telah menjadi orang tua atau calon orang tua. Ingatlah….semarah apapun anda, janganlah bertindak berlebihan. Sebagai orang tua, kita patut untuk saling menjaga perbuatan kita khususnya pada anak-anak yg masih kecil karena mereka masih belum tahu apa-apa. Dalam menyikapi kenakalan anak kecil, kiranya kita sebagai orang dewasa dapat lebih bersabar, karena itulah ‘anak kecil’ dalam benak mereka belum terpatri begitu banyak tentang ‘baik dan buruk’ tugas kitalah untuk mengajarkannya. Namun mengajarkan mereka tentang hal yang benar dan yang salah tidaklah perlu dengan kekerasan. Dan ingatlah, anak adalah anugerah dan amanah yang dititipkan oleh Tuhan untuk kita rawat dan bimbing.
Ketika aku sudah tua
Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah,bersabarlah sedikit terhadap aku.
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu,
ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.
Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau
dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu
kali kuceritakan agar kau tidur.
Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?
Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru, jangan
mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.
Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk
mengingat.
Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.
Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai
belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang
temani aku menjalankan sisa hidupku.
Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa
syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.
Kaget rasanya telingaku mendengar, heran mataku terbelalak, terperangahlah mulutku, ketika kemarin tanggal 21 Juni 2010 sepulang kerja di tayangan berita Televisi di Jambi sana, ada anak dan keluarganya yang tega mengurung ibunya yang sudah sangat renta di sebuah toilet ( bekas toilet lah ?), warga sekitar mungkin karena geram akhirnya melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian, dan ketika diinterogasi aparat; kenapa engkau tega melakukan ini pada ibumu!, inikah bentuk bakti seorang anak pada ibumu yang telah mengurusmu dari kamu kecil, yang awalnya cuma bisa menangis "ea..ea..ae hanya untuk sekedar makan. minum berjalan sekali, bahkan sekedar untuk tidurpun engkau tak bisa!. sebelum tangan lembut ibumu membelaimu tentu dengan kasih sayang yang luar biasa, Ibumu rela terjaga tatkala engakau sedang nyeyak, karena tak rela jika ada seekor nyamukpun yang hinggap dan menggigitmu, Sang anak dengan enteng menjawab;" kami malu punya Ibu yang sudah pikun, bisanya cuma mengganggu", untunglah pihak kepolisian belum menjatuhkan hukuman, baru diberikan sanksi peringatan keras dan jika perbuatan ini diulangi, maka pihak kepolisian akan langsung menangkap dan menjebloskan ke penjara....
MENGAPA?
Seorang wanita bertanya pada seorang pria tentang cinta dan harapan.
Wanita berkata ingin menjadi bunga terindah di dunia dan pria
berkata ingin menjadi matahari.
Wanita tidak mengerti kenapa pria ingin jadi matahari, bukan kupu
kupu atau kumbang yang bisa terus menemani bunga.
Wanita berkata ingin menjadi rembulan dan pria berkata ingin tetap
menjadi matahari. Wanita semakin bingung karena matahari dan bulan
tidak bisa bertemu, tetapi pria ingin tetap jadi matahari.
Wanita berkata ingin menjadi Phoenix yang bisa terbang ke langit
jauh di atas matahari dan pria berkata ia akan selalu menjadi
matahari.
Wanita tersenyum pahit dan kecewa. Wanita sudah berubah 3x namun
pria tetap keras kepala ingin jadi matahari tanpa mau ikut berubah
bersama wanita. Maka wanita pun pergi dan tak pernah lagi kembali
tanpa pernah tahu alasan kenapa pria tetap menjadi matahari.
Pria merenung sendiri dan menatap matahari.
Saat wanita jadi bunga, pria ingin menjadi matahari agar bunga dapat
terus hidup. Matahari akan memberikan semua sinarnya untuk bunga
agar ia tumbuh, berkembang dan terus hidup sebagai bunga yang
cantik. Walau matahari tahu ia hanya dapat memandang dari jauh dan
pada akhirnya kupu kupu yang akan menari bersama bunga. Ini disebut
kasih yaitu memberi tanpa pamrih.
Saat wanita jadi bulan, pria tetap menjadi matahari agar bulan dapat
terus bersinar indah dan dikagumi.
Cahaya bulan yang indah hanyalah pantulan cahaya matahari, tetapi
saat semua makhluk mengagumi bulan siapakah yang ingat kepada
matahari. Matahari rela memberikan cahaya nya untuk bulan walaupun
ia sendiri tidak bisa menikmati cahaya bulan, dilupakan jasanya dan
kehilangan kemuliaan nya sebagai pemberi cahaya agar bulan
mendapatkan kemuliaan tersebut. Ini disebut dengan Pengorbanan,
menyakitkan namun sangat layak untuk cinta.
Saat wanita jadi Phoenix yang dapat terbang tinggi jauh ke langit
bahkan di atas matahari, pria tetap selalu jadi matahari agar
Phoenix bebas untuk pergi kapan pun ia mau dan matahari tidak akan
mencegahnya.
Matahari rela melepaskan phoenix untuk pergi jauh, namun matahari
akan selalu menyimpan cinta yang membara di dalam hatinya hanya
untuk phoenix.
Matahari selalu ada untuk Phoenix kapan pun ia mau kembali walau
phoenix tidak selalu ada untuk matahari. Tidak akan ada makhluk lain
selain Phoenix yang bisa masuk ke dalam matahari dan mendapatkan
cinta nya. Ini disebut dengan Kesetiaan, walaupun ditinggal pergi
dan dikhianati namun tetap menanti dan mau memaafkan.
Pria tidak pernah menyesal menjadi matahari bagi wanita.
Belajar Dari Anjing Kecil
Terkisahlah dua ekor anjing scottie muda yang bersahabat, Buster dan Didi. Kemana pun mereka pergi selalu bersama dan ada saja petualangan yang mereka lalui setiap harinya. Namun meskipun begitu, kedua sahabat itu sangatlah bertolak belakang kepribadiannya.
Buster adalah sosok anjing yang penuh dengan semangat dan selalu berani menghadapi rintangan apapun, sementara sahabatnya Didi sedikit lebih pendiam dan selalu ragu dalam bertindak.
Suatu hari di Kota Binatang diadakanlah perlombaan adu bakat untuk para anjing-anjing. Dan pemenangnya selain akan dikukuhkan sebagai anjing terbaik di kota akan pula dihadiahkan stok tulang selama setahun. Seluruh anjing penghuni kota menjadi tergiur untuk ikut ambil serta dalam perlombaan tersebut, tak terkecuali Buster muda.
Buster pun mengajak sahabatnya, Didi, untuk ikut perlombaan. Namun belum saja mereka mendaftar, Didi telah merasa gentar terlebih dahulu setelah mengetahui ternyata anjing-anjing yang akan menjadi lawan mereka bukanlah sekedar anjing geladak biasa, melainkan anjing-anjing juara yang lebih memiliki banyak pengalaman, bahkan konon berita yang mereka dapatkan beberapa anjing ras collie dan rottweiller juga akan ikut ambil bagian. Tak urung nyali Didi semakin ciut, dalam pikirannya bagaimana mungkin anjing kecil seperti dirinya bisa menang melawan para raksasa-raksasa anjing tersebut, bisa-bisa nanti justru dirinya jadi bulan-bulanan anjing-anjing tersebut.
Sementara sahabatnya, Buster, yang tak pernah mengenal kata menyerah tentunya tetap mendaftarkan diri dalam perlombaan tersebut. Buster masih mencoba untuk membujuk Didi, diberitahunya pada Didi bahwa tak ada salahnya mereka mencoba, urusan menang atau kalah itu hal belakangan. Tapi Didi tetap kukuh pada pendiriannya.
Tak terasa waktu perlombaan itu pun akhirnya tiba. Rupanya banyak juga peserta yang turut berlomba.
Perlombaan dibagi dalam tiga babak. Babak ‘Uji Nyali’, babak ‘Ketangkasan’, dan babak ‘Kecepatan’.
Babak pertama pun dimulai, para peserta diharuskan untuk mengambil masing-masing 3 buah tulang emas yang dipersiapkan panitia dan ditaruh di tempat-tempat yang cukup berbahaya. Satu tulang ditaruh di bebatuan yang berada di tengah-tengah sungai di dekat air terjun, tentu hal yang sangat sulit dilakukan mengingat arus sungai yang sangat deras. Tulang yang kedua diletakkan di puncak sebuah bukit namun untuk mendapatkannya para peserta mesti melewati jalanan di lereng yang terjal, sedikit saja mereka salah melangkah maka jurang telah menanti mereka jauh di bawah. Sementara tulang yang terakhir berada di dalam sebuah gua yang katanya ada begitu banyak ular berbisa yang menempati tempat tersebut.
Beberapa anjing-anjing collie dan rottweiller dengan cukup mudah melewati rintangan-rintangan itu. Walau begitu beberapa ada yang gagal dan terhanyut di sungai atau menderita luka-luka karena terjatuh di jurang sementara ada pula yang karena tak berani menghadapi ular berbisa akhirnya menolak memasuki gua yang gelap itu.
Sementara Buster sendiri pun cukup kepayahan melewati babak pertama ini. Ia sempat terseret arus walau akhirnya berhasil menyelamatkan diri dengan buru-buru melompat ke atas sebuah batu. Namun sayangnya Buster hanya berhasil membawa dua buah tulang emas. Sementara tulang yang ketiga tak berhasil di dapatnya karena ketika hendak mengambil tulang tersebut tiba-tiba seekor ular jenis python membelit tubuhnya, dia hampir saja menjadi santapan ular tersebut kalau saja dia dengan cukup cerdik berhasil meloloskan diri.
Namun meskipun begitu, Buster tetap lolos untuk maju dalam babak selanjutnya. Pada babak kedua, babak ‘Ketangkasan’, Buster yang memang cukup cerdas berhasil memperoleh skor tertinggi dan melangkah dengan mudah menuju babak terakhir.
Sahabatnya Didi terus setia menyaksikan perlombaan dan mendukung Buster. Walau Ia merasa ngeri saat menyaksikan perlombaan pada babak pertama, namun terbersit sedikit rasa sesal di hatinya karena tak ikut mendaftarkan diri. Ditatapnya Buster yang tersenyum karena berhasil mengalahkan para anjing-anjing raksasa tersebut di babak kedua. ‘Bisa saja akulah yang berdiri disana dengan senyum menghiasi wajah’ lirihnya.
Setelah peserta yang tersisa diberi waktu 30 menit untuk istirahat, akhirnya tibalah babak terakhir, babak penentuan.
Seluruh peserta yang kini hanya tersisa lima ekor terdiri dari Buster, Sebas (seekor anjing Collie), Ruffy dan Rockie yang merupakan anjing ras Rottweiller dan satu lagi Spotty (anjing jenis Dalmatian), akan melakukan perlombaan lari melintasi lapangan rumput disisi luar kota dan kemudian mereka akan melewati sebuah bukit kecil lalu kembali melintasi sungai menuju hutan untuk kembali ke kota.
Dan siapapun yang tiba terlebih dahulu dialah yang akan keluar menjadi pemenang dan berhak untuk mendapatkan hadiah yang telah dijanjikan. Peluit dibunyikan dan peserta mulai berlari sekencang yang mereka bisa. Dengan mudah Rockie, anjing yang memang sudah terkenal dengan segala kelebihannya, berhasil mengungguli peserta lainnya. Perlombaan berlangsung cukup seru, keempat anjing raksasa Sebas, Ruffy, Rockie dan Spottie saling bersaing merebut posisi pertama. Sementara Buster sendiri, cukup kesulitan mengejar empat anjing lainnya. Ia sudah mengerahkan segala tenaganya untuk mengejar, namun sepertinya mereka semua memang bukan tandingan Buster.
Dan akhirnya seperti yang telah diperkirakan para penduduk Kota Binatang, Rockie-lah yang akhirnya berhasil memenangkan pertandingan.
Buster yang finish di urutan terakhir, sesaat merasa begitu kecewa saat melihat Rockie yang naik ke atas podium.
“Aksi yang kamu tunjukkan dalam perlombaan ini sangatlah menarik anjing muda, aku sangat menikmatinya.” ujar seekor anjing tua.
Dan Buster pun tersenyum bangga melupakan rasa kecewa terhadap kekalahannya.
Pesan moral:
Terkadang karena rasa takut berlebihan yang telah meliputi pikiran kita tentang sebuah kegagalan, kita malah tak jarang justru melepas sebuah kesempatan yang ada di depan mata. Seperti halnya yang terjadi pada Didi, si anjing kecil. Pikiran negatif yang menguasai dirinya justru mengaburkan pandangannya akan semua kelebihan-kelebihan yang sebenarnya dimilikinya. Dan apa yang tersisa? Tentu hanyalah penyesalan.
Maka baiklah jika kiranya kita bisa seperti Buster muda, yang di dalam kamusnya tak ada kata menyerah sebelum mencoba. Tiada yang tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dan jika kita ingin berhasil tentulah kita harus melakukan aksi. Walaupun ternyata kita akhirnya gagal, tapi itu jauh lebih baik daripada kita melakukan sesuatu apapun.
Note:
You may be disappointed if you fail, but you are doomed if you don’t try - Beverly Sills
SEBATANG BAMBU
Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani. Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambu lainnya. Suatu hari datanglah sang petani yang empunya pohon bambu itu.
Dia berkata kepada batang bambu,” Wahai bambu, maukah engkau kupakai untuk menjadi pipa saluran air yg sangat berguna untuk mengairi sawahku?”
Batang bambu menjawabnya, “Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagi engkau,Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatku menjadi pipa saluran air itu.”
Sang petani menjawab, “Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkan engkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuang cabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah itu aku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir aku akan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapat mengalir dengan lancar. Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipa yang akan mengalirkan air untuk mengairi sawah sehingga padi yang ditanam dapat tumbuh dengan subur.”
Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam….., kemudian dia berkata kpd petani, “Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakit ketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuang cabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belah batangku yang indah ini dan pasti tak tertahankan ketika engkau mengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekat penghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?”
Petani menjawab, ” Wahai bambu, engkau pasti kuat melalui semua ini karena aku memilihmu justru karena engkau yang paling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah.”
Akhirnya batang bambu itu menyerah, “Baiklah, Tuan. Aku ingin sekali berguna ketimbang batang bambu yg lain. Inilah aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yang kau kehendaki.”
Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yang dulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubah menjadi pipa saluran air yang mengairi sawah sehingga padi dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak.
Pernahkah kita berpikir bahwa dengan tanggung jawab dan persoalan yg sarat, mungkin Tuhan sedang memproses kita untuk menjadi indah di hadapan-Nya? Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa.
Tapi jangan kuatir, kita pasti kuat karena Tuhan tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul. Jadi maukah kita berserah pada kehendak Tuhan, membiarkan Dia bebas berkarya di dalam diri kita untuk menjadikan kita alat yang berguna bagi-Nya?
Seperti batang bambu itu, mari kita berkata, ” Inilah aku, Tuhan…perbuatlah sesuai dengan yang Kau kehendaki.”
DI BALIK CERMIN
Ketika saya masih kecil, kami tinggal di kota New York, hanya satu blok dari rumah Grandpa-Grandma. Setiap malam, Grandpa selalu melakukan “kewajibannya,” dan di setiap musim panas, saya selalu ikut dengannya.
Pada suatu malam, ketika Grandpa (kakek) dan saya sedang jalan kaki bersama, saya menanyakan apa bedanya keadaan sekarang dengan dulu, ketika dia masih kecil di tahun 1964. Grandpa bercerita tentang jamban-jamban di luar rumah, bukan toilet mengkilap, kuda-kuda, bukan mobil, surat-surat, bukan telepon, dan lilin-lilin, bukan lampu-lampu listrik.
Sementara dia menceritakan semua hal-hal indah yang sama sekali tidak pernah terbayang di kepala saya, hati kecil saya mulai penasaran. Lalu saya tanyakan kepadanya,”Grandpa, apa hal paling susah yang pernah terjadi dalam hidupmu?”
Grandpa berhenti melangkah, memandang cakrawala, dan membisu beberapa saat. Lalu dia berlutut, menggenggam tangan saya, dan dengan air mata berlinang dia mengatakan: “Ketika ibumu dan adik-adiknya masih kecil-kecil, Grandma (nenek) sakit parah dan untuk bisa sembuh, dia harus dirawat di satu tempat yang namanya sanatorium, untuk waktu yang lama sekali.
Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu kalau aku sedang pergi kerja, jadi mereka kutitipkan di panti asuhan. Para biarawati yang membantuku mengurusi mereka, sementara aku harus melakukan dua atau tiga pekerjaan untuk bisa mengumpulkan uang, agar Grandma bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah.”
“Yang paling sulit dalam hidupku adalah, aku harus menaruh mereka di panti asuhan. Setiap minggu aku mengunjungi mereka, tetapi para biarawati itu tidak pernah mengijinkan aku mengobrol dengan mereka, atau memeluk mereka. Aku hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah cermin satu arah. Aku selalu membawakan permen setiap minggu, berharap mereka tahu itu pemberianku. Aku hanya bisa menaruh kedua tanganku di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh, waktu yang mereka ijinkan untuk aku melihat anak- anakku, berharap mereka akan datang dan menyentuh tanganku. ”
“Satu tahun penuh kulalui tanpa menyentuh anak-anakku. Aku sangat merindukan mereka. Tetapi aku juga tahu bahwa itulah tahun yang lebih sulit lagi bagi mereka. Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri karena tidak bisa memaksa biarawati itu mengijinkan aku memeluk anak-anakku. Tetapi kata mereka, kalau diijinkan, itu malah akan lebih memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya, dan mereka akan menjadi lebih sulit tinggal di panti asuhan itu. Jadi aku menurut saja.”
Saya tidak pernah melihat Grandpa menangis. Dia memeluk saya erat-erat dan saya katakan kepadanya bahwa saya memiliki Grandpa terbaik di seluruh dunia dan saya sangat menyayanginya.
Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapapun. Dari tahun ke tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek saya pindah ke negara bagian yang berbeda.
Setelah nenek saya meninggal dunia, kakek saya mengalami penurunan ingatan dan saya yakin itulah periode penuh tekanan baginya. Saya memohon kepada ibu saya untuk memperbolehkan Grandpa tinggal bersama kami, tetapi ibu saya menolaknya.
Saya terus merengek, “Ini kan sudah kewajiban kita sebagai keluarga untuk memikirkan apa yang terbaik baginya.”
Dengan sedikit marah, ibu membentak, “Kenapa? Dia sendiri sama sekali tidak pernah perduli pada apa yang terjadi terhadap kami, anak-anaknya!”
Saya tahu apa yang ibu maksud. “Dia selalu memperhatikan dan menyayangi kalian,” kata saya.
Ibu saya menjawab,” Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!”
“Hal tersulit baginya adalah harus menaruh ibu dan paman Eddie dan paman Kevin di panti asuhan.”
“Siapa yang cerita begitu padamu?” tanyanya.
Ibu saya sama sekali tidak pernah membicarakan masa-masa itu kepada kami.
“Mom, dia selalu datang ke tempat itu setiap minggu untuk mengunjungi anak-anaknya. Dia selalu memperhatikan kalian bermain dari belakang cermin satu arah itu. Dia selalu membawakan permen setiap kali dia datang. Dia tidak pernah absen setiap minggu. Dia benci tidak bisa memeluk kalian selama satu tahun itu!”
“Kau bohong! Dia tidak pernah datang. Tidak pernah ada yang datang menjenguk kami.”
“Lalu bagaimana aku bisa tahu soal kunjungan itu kalau bukan dia yang cerita ? Bagaimana aku bisa tahu oleh-oleh yang dibawanya? Dia benar-benar datang. Dia selalu datang. Para biarawati itulah yang tidak pernah mengijinkan dia menemui kalian, karena kata mereka, akan terlalu sulit bagi anak-anak kalau melihat ayahnya sudah harus pergi lagi. Mom, Grandpa menyayangimu, dan selalu begitu!”
Grandpa selalu beranggapan anak-anaknya tahu dia berdiri dibalik cermin satu arah itu, tetapi karena mereka tidak pernah merasakan kehangatan dan kekuatan pelukannya, dia pikir mereka telah melupakan kunjungan-kunjungannya. Sementara, ibu saya dan adik-adiknya beranggapan dia tidak pernah datang mengunjungi mereka.
Setelah saya menceritakan kebenaran itu kepada ibu saya, hubungannya dengan Grandpa mulai berubah. Dia menyadari bahwa ayahnya selalu menyayanginya, dan akhirnya Grandpa tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar