Minggu, 05 September 2010

THR ANDALAN PENDAPATAN PEKERJA


Oleh tri Wahyudi 050910

Tak dipungkiri setiap memasuki bulan romadhon, selain kita bersukacita menyambut bulan yang luar biasa kaya akan makna dan pahala ini, bagi pekerja muslim ada satu lagi yang sangat didambakan, yakni tak lain dan tak bukan adalah THR,.


Yach pembagian THR adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu, setelah selama sebelas bulan sebelumnya, berkutat, mendedikasikan diri bekerja untuk menopang kemajuan perusahaan dan memenuhi nafkah diri ataupun keluarga, maklum bagi sebagian besar pekerja di indonesia, sekedar untuk menyisihkan uang perbulan saja kadang sulit dilakukan, karena upah yang kita terima memang tahun demi tahun masih berpatokan pada Upah Minimum masing-masing kabupaten / kotamadya, padahal semestinya upah yang diterima pekerja mestinya mengarah pada angka Komponen Hidup Layak ( KHL ) seperti yang diisyaratkan dalam UU No.13 Tahun 2003, padahal perjuangan untuk mendapatkan upah berdasarkan KHL di negeri ini luar biasa sulit atau mungkin bisa dikatakan mimpi, disebabkan saking kuatnya dominasi birokrasi yang ditopang para pemegang modal ( pengusaha ), bayangkan hampir setiap tahun serikat pekerja / buruh terpaksa harus melakukan demo untuk menuntut Upah yang layak, padahal angka yang dituntutpun berdasarkan hasil survey harga komponen-komponen hidup minimal bagi pekerja.


Penulis percaya bangsa yang mau maju, salah satunya adalah dengan menerapkan upah yang layak bagi dunia kerja, seperti yang dilakukan oleh negara jepang misalnya, upah minimum pekerja disana unntuk tahun 2009 saja per jamnya adalah sekitar 72.000 rupiah, adannya keterwakilan pekerja di parlemen dan kabinet, tak heran dunia industri mereka begitu kuat, tidak seperti di negeri kita untuk menentukan upah minimum dominasi kekuatan pengusaha ataupun kepentingan investor begitu kuat, jadilah dunia kerja atau buruh yang notabene kalah dalam berbagai hal, terutama dalam dominasi pengaruh dan uang. Menjadi pihak yang selalu terlemahkan.

Okelah daripada ngomongin hal-hal yang terlalu berat, mengenai kondisi perburuhan bangsa ini, yang memang sudah kronis dan akut, mending kita kembali ke topik semula, soal THR, sepuluh hari terakhir dibulan romadhon khan disebut juga fase tahap ketiga yakni terbebas dari api neraka ( tapi bagi muslim yang puasanya bener lho..), dimana pada fase ini dimungkinkan kita bertemu malam lailatul qodar suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bagi pekerja muslim di 10 hari terakhir juga ada satu hari yang merupakan hari yang lebih baik dari 11 bulan, yakni hari saat dibaginya THR, soalnya jarang-jarang toh kita menerima uang dalam jumlah yang cukup besar diluar gaji yang biasa diterima, kalau dalam 10 hari terakhir dibulan romadhon, disebut fase terbebas dari api neraka, bagi pekerja muslim 10 hari dibulan romadhon dengan turunnya dana segar berupa THR, mungkin bisa juga disebut fase kebebasan, yach bebas dari rasa kangen, dengan diberikan keleluasaan untuk bermudik ria bertemu keluarga di kampung halaman, bebas untuk membeli sesuatu, pakaian baru kah, atau barang lain yang mungkin di bulan-bulan sebelumnya sulit dilakukan, bebas untuk melakukan renovasi rumah, bahkan sampai bisa untuk nyicil / nglunasin hutang, pokoknya THR adalah impian ataupun harapan bagi para pekerja, makanya tak heran saat 20 atau 10 hari terakhir dibulan romadhon pertanyaan yang berkaitan dengan THR makin santer terdengar; Kapan THR turun,? berapa besarnya?, uang THR untuk apa yach?.

Rupanya adapula sisi negatif dari turunnya THR, tak dipungkiri jika THR sudah turun, sungguh sangat disayangkan, jamaah taraweh di mushola atau masjid biasanya ikut turun, karena tergerus oleh eporia belanja uang THR tadi, sebaliknya tempat-tempat lain seperti; ATM dikerubuti para pengantri, apalagi Mall ataupun pasar, uhuy untuk sekedar parkir atau jalan saja mesti berdesakan, jika suasana mudik tiba suasana haru menyentuh kalbu, ketika melihat dijalanan dipenuhi para pekerja yang pulang kampung, ada yang pakai motor empet-empetan bawa satu keluarga anak dan istri, melihat tayangan info mudik rekan-rekan kita berjubelan di stasiun ataupun terminal. Terjebak macet dijalanan, diterpa panas terkadang juga hujan, jika suara takbir mulai terdengar rasa haru semakin dalam terlebih bagi pekerja yang karena sesuatu hal, tidak ikut memeriahkan budaya mudik, salah satu budaya unik yang dimiliki bangsa indonesia.

Mari, sedikit kita bahas, dasar hukum THR bagi pekerja, seperti dimuat dalam Kep Men Tenaga kerja No: 4 tahun 1994, disitu jelas disebutkan :
Bagi pekerja yang telah bekerja 3 bulan atau lebih berhak mendapatkan THR.
Bagi yang sudah bekerja selam 12 bulan berturut-turut besarnya THR minimal sebesar satu kali upah sebulan.
Bagi pekerja yang bekerja 3 bulan lebih tapi kurang dari 12 bulan, besarnya THR dihitung secara proporsional 1/12 X upah sebulan.
THR merupakan hak pekerja dan kewajiban bagi pengusaha.
Definisi pekerja adalah: setiap orang yang bekerja pada suatu tempat usaha dan mendapatkan upah, jadi disini semua status pekerja apakah itu; Harian, kontrak, borongan maupun karyawan tetap semuannya berhak mendapatkan THR.
Perhitungan diatas adalah perhitungan minimal yang harus diberikan perusahaan, jika selama ini ada perusahaan yang sudah menerapkan THR tapi besarannya lebih kecil dari ketentuan diatas maka jumlah THR minimal harus memenuhi jumlah diatas, sedang untuk perusahaan yang saat dikeluarkannya peraturan ini, sudah menerapkan THR yang jumlahnya lebih besar dari ketentuan diatas tidak boleh menurunkan nilai THR yang selama ini sudah berjalan, kecuali atas kesepakatan / perundingan dengan serikat pekerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Hampir semua peraturan yang berkenaan dengan ketenagakerjaan terutama yang berkaitan dengan upah / uang, biasanya tidak mengandung perhitungan yang tegas dari pemerintah, kalaupun tegas itupun dalam jumlah minimum, apalagi biasanya tidak dibarengi dengan pengawasan yang semestinya, jadilah peraturan tinggalah peraturan dimana celah-celah untuk pengusaha melakukan perbuatan yang merugikan pekerja tetap ada, yach seperti aturan tentang THR ini jumlah yang ditentukan cuma jumlah minimum, jadilah kenyataan dilapangan banyak pengusaha yang masih enggan menerapkan THR sesuai ketentuan, tak heran bagi pekerja yang sudah bekerja belasan, puluhan tahun ( kerja sampai lumutan )masih ada yang cuma dapat satu kali upah, lebih parah lagi, nasib pekerja harian, borongan, terlebih outsourching, kemungkinan tidak dapat thr peluangnya lebih besar, dapat-dapat kurang dari ketentuan, atau malah cuma dapat bingkisan, biskuit atau ucapan selamat saja, dalih pengusaha walah sudah dikasih kerja saja untung, kalau masih ngeyel ya sudah sana cari tempat kerja lain.

Yach begitulah nasib pekerja kita, selalu dalam posisi terlemahkan, apalagi para wakil rakyat yang duduk di DPR notabene kebanyakan dari mereka adalah orang berduit ( atau mungkin kebanyakan pengusaha ), lha wong mau jadi calon anggota legislatif bukan rahasia umum mesti pakai uang bajibun dulu, jadilah urusan nasib tenaga kerja, enggan dibahas, tapi kalo ngurusin sesuatu yang urusannya duit, investor, perbankan wah ruang sidang bisa penuh, tapi itu dulu sekarang? silahkan pembaca sendiri yang memperhatikan kemudian menyimpulkannya kayak apa kondisi kekinian yang katanya kita sudah memasuki era reformasi dan keterbukaan.
Yang jelas penulis berharap suatu saat, ada pemimpin bangsa yang benar-benar menganggap penting kekuatan sumber daya manusia bangsa ini dibangkitkan tentunya dalam rangka menunjang tercapainya kemandirian bangsa, salah satunya adalah denagn memperbaiki nasib para pekerja, tentu tidak sekedar retorika, janji atau dagelan semata........semoga.

Berita terkait : Dewan Pengupahan DKI walk out

Tidak ada komentar: